Arsip Penulis

info sewa/beli oil barge atau tanker   Leave a comment


Salam hormat,

Jika anda membutuhkan Oil barge including tugboat (1 set) atau Tanker untuk di sewa atau untuk dibeli silahkan kunjungi website kami >>> http://www.shiphandlingbusiness.wordpress.com atau hubungi email kami >>> shiphandlingbusiness@gmail.com atau mobilephone 0811847010

Salam

Posted 12/11/2017 by jecidi in Promosi Produk

Tagged with ,

BUDAYA KESELAMATAN – INSIDEN-INSIDEN AKIBAT KELALAIAN MANUSIA   Leave a comment


 “Sebagian besar dari klaim-klaim itu bisa disebabkan oleh berbagai jenis kelalaian manusia”

Petugas-petugas yang menangani klaim asuransi di perusahaan asuransi kapal setiap harinya melihat sejumlah besar klaim yang masuk dan meskipun klaim-klaim itu sangat beragam jenis dan besarnya, dari klaim yang sangat kecil sampai klaim yang sangat besar, terdapat ciri-ciri yang sama yang beberapa diantaranya berharga untuk dibicarakan

Sudah bukan rahasia lagi dikalangan para eksekutif bagian klaim, bahwa dari berbagai ukuran dan jenis klaim, mempunyai ciri-ciri yang sama:

  1. Sebagian besar dari klaim-klaim itu bisa disebabkan oleh berbagai jenis kelalaian manusia.
  2. Klaim-klaim yang disebabkan oleh kelalaian manusia tetap saja terjadi, walaupun nampaknya sudah ada usaha-usaha yang memadai dari para operator untuk mencegahnya, misalnya lewat sistem-sistem manajemen dan kualitas/mutu.
  3. Klaim-klaim yang terbesar kadang-kadang berasal dari klaim-klaim yang dengan sangat jelas disebabkan oleh kelalaian manusia.

 

Kasus (1) : Kapal tabrakan dan kandas

Sebuah kapal tanker pengangkut bahan kimia cair bermuatan sebanyak kurang lebih 5,000 T sedang menjalani pelayaran kembali (inward-bound) di sebuah sungai. Sungai itu memiliki alur-alur dalam selebar 500 m yang bisa dilayari dan dipasangi tanda-tanda secara jelas dengan bui-bui berlampu, dengan tepian berlumpur kiri dan kanannya. Sungai itu dilengkapi dengan Sistem Lalu-lintas Kapal dan penggunaan pandu merupakan keharusan (Vessel Traffic System – VTS and Pilotage is mandatory).Setelah berlayar selama enam jam dari stasiun kepanduan, kapal kurang lebih sedang berada ditengah perjalanannya untuk sandar di dermaga. Kabut membatasi jarak pandang sampai hanya dua kabel (365 meter) yang kira-kira tiga kali panjang kapal itu. Kapal berlayar dengan kecepatan 10 mil laut/jam dan pandu sedang memberikan perintah-perintah mengemudi bervariasi antara sudut-sudut daun kemudi dan arah-arah haluan (courses).

Mualim Dua sedang melakukan pengamatan keluar kapal (look-out) dan tugas siaga (stand-by duty) didekat telegraf kamar mesin dan juga sedang memantau jurumudi untuk memastikan bahwa perintah-perintahnya mengenai posisi sudut kemudi dan arah haluan telah diikuti. Dalam memandu kapal, pandu sangat tergantung pada radar, Mualim Satu yang sedang bertugas jaga laut (navigation watch), dan Nakhoda berada dibagian belakang anjungan membicarakan pelabuhan singgah berikutnya dan rencana urutan pembongkaran kargo, pembersihan tangki dan pemuatan kargo. Mereka masuk ke pelabuhan itu untuk kegiatan bongkar/muat kargo selama dua hari penuh.

Sampai sejauh ini pelayaran masih berjalan mulus, namun masalah mulai timbul pada saat Mualim Dua memperingatkan pandu akan adanya bui berwarna hijau di arah haluan kiri kapal, yang seharusnya berada di haluan kanan kapal. Pada saat yang sama ada pantulan/echo gambar yang cukup besar di layar radar di haluan kiri agak kedepan lagi, yang secara jelas sekali menunjukkan sebuah kapal besar pada arah haluan yang berlawanan. Mualim Dua memperhatikan bahwa pandu mulai gelisah/gugup pada saat ia memberi perintah untuk memutar kemudi ke kiri, yang segera membuat bui berwarna hijau berada di haluan kanan namun juga echo besar yang berada di radar.

Situasinyasekarang diketahui oleh Nakhoda dan Mualim Satu dan mereka bertanya kepada pandu apa yang terjadi. Pandu menjawab bahwa ia telah melakukan kesalahan perihal posisi kapal di sungai itu. Nakhoda menjadi panik tentang keberadaan kapal yang sedang mendekat yang terlihat di layar radar, yang saat itu juga sudah terlihat secara fisik. Nakhoda memerintahkan mesin induk untuk maju penuh dan memutar kemudi ke kanan penuh yang dengan segera dilakukan. Pada titik ini VTS juga memantau situasi dan memanggil kapal lewat VHF. Karena kapal telahmembelok secara tajam ke arah kanan, lambung bagian kirinya (port quarter) menyentuh bagian haluan dari kapal kontainer yang sedang mendekat dan selanjutnya mengarah langsung ke tepian sungai dan kandas sebelum perwira-perwira yang berada di anjungan mampu mengoreksi arah haluan dan mengurangi kecepatan.

Kelalaian manusia

Apa yang sesungguhnya terjadi pada kasus yang telah dijelaskan diatas adalah bahwa pandu telah salah mengartikan tampilan di radar dan mengira bahwa belokan di sungai berada lebih kedepan dari pada yang sesungguhnya. Tiba-tiba, saat ia menyadari kesalahannya, ia panik dan memerintahkan untuk memutar penuh kemudi ke kiri untuk menghindari agar kapal tidak kandas, namun mengabaikan kapal yang sedang mendekat didepannya. Kemudian baru disadari bahwa menghentikan mesin induk dan melakukan gerakan kemudi ke kiri lebih mudah akan mengarahkan kapal melewati bagian kiri dari kapal yang sedang mendekat dengan bagian kiri kapal (pass the meeting vessel port to port) dan sekaligus terbebas dari tepian sungai bagian kanan.

Mungkin saja jika para perwira dianjungan kapal melakukan tindakan-tindakan yang lebih aktif khususnya selama kapal berlayardi sungai, maka:

  1. a) mereka akan menyadari potensi timbulnya situasi bahaya lebih awal dan akan bisa melakukan koreksi atas kesalahan pandu untuk menghindari situasi bahaya, atau
  2. b) mereka akan mengintervensi dan mengambil langkah langkah lebih baik pada saat mengetahui secara nyata bahwa pandu telah melakukan kekeliruan dan menjadi panik.

Sayangnya ada sejumlah klaim yang kelihatannya mengaitkan dengan nakhoda dan perwira jaga (OOW) terlalu memercayakan kepada pandu dan tidak memantau dan mempertanyakan perintah-perintahnya. Pandu hanyalah penasihat (advisor) dan memberi petunjuk kepada OOW dan tanggungjawab (responsibility and liability) atas berlangsungnya pelayaran dan olah gerak kapal terletak pada nakhoda dan OOWmeskipun pandu berada di anjungan.

Kasus (2) : Kapal Kandas

Sebuah kapal sedang menyeberangi samudera dan arah haluan sudah ditetapkan sejak dari awal sampai akhir pelayaran. Arah haluan ditetapkan dan pelayaran direncanakan pada sebuah peta perencanaan berskala kecil. Arah haluan ditetapkan untuk melewati gugus kecil pulau-pulau di tengah samudera dan CPA (Titik Pendekatan paling dekat – Closest Point of Approach) dianggap dan diperkirakan sebagai cara yang baik dan aman. Pada suatu malam tropis bercuaca baik dengan laut yang tenang dan jarak pandang yang baik, kapal melewati sebelah kiri dari suatu gugus kepulauan beberapa saat setelah tengah malam.

Selama dua jam dalam waktu jaganya (antara jam-jam 16.00 – 20.00) Mualim Satu mengamati bahwa angin cerah (light breeze) bersama-sama dengan arus telah menyebabkan kapal tergeser dari arah haluannya dan sedang menuju kearah pulau-pulau itu.Karena itu dia melakukan koreksi pada arah haluan semula untuk mengimbangi (compensate) penyimpangan (d r i f t) dan mengarahkan kapal agar tetap pada arah haluannya semula. Pada saat timbang terima jaga pukul 20.00, Mualim Satu mengingatkan Mualim Tiga tentang hal ini. Mualim Tiga melanjutkan memplot posisi kapal selama jam-jam jaganya dan mendapatkanbahwa kapal masih terus menyimpang dari arah haluannya semula dengan dampak lebih mendekat (CPA) ke pulau-pulau lebih kurang aman dari arah haluan yang direncanakan.

Mualim Tiga membuat perubahan perubahan kecil pada arah haluan untuk mengimbangi penyimpangan (drifting) dan posisi kapal (setting). Pada tengah malam penjagaan diserah terimakan pada Mualim Dua, yang juga telah diperingatkan mengenai penyimpangan dan pembetulan-pembetulan arah haluan. Pada pukul 00.40 kapal kandas di pantai sebuah pulau gugus karang yang rendah dengan kecepatan penuh. Pantai sebagian besar terdiri dari pasir dan batu-batu kecil/koral dan landai (slopes) dengan kemiringan yang rendah ke arah laut sehingga kapal hanya mengalami kerusakan kecil namun tidak bisa diapungkan kembali dengan tenaga kapal itu sendiri. Penyelamatan kapal dengan biaya tinggi terpaksa dilakukan.

Kelalaian manusia

Posisi diplot kembali pada peta perencanaan pelayaran berskala kecil yang sama meliputi seluruh samudera dimana pelayaran telah direncanakan dan arah haluan telah ditetapkan. Dalam peta berskala kecil sulit untuk mengukur secara teliti jarak-jarak yang pendek dan mengamati penyimpangan-penyimpangan kecil dari arah haluan diantara pengeplotan-pengeplotan yang dilakukan setiap jamnya. Alasan untuk menggunakan peta berskala kecil kemungkinan adalah karena untuk menyeberangi samudera, dianggap tidak perlu untuk melakukan pelayaran/navigasi yang teliti. Kepulauan dimana kapal itu kandas diberi tanda pada peta yang digunakan, namun hanya sebagai titik-titik kecil danarah haluan ditetapkan untuk melewati apa yang kelihatannya pada jarak yang aman.Namun demikian, penyimpangan kapal dari arah haluannya karena hanyut dan arus, rupanya bekerja bersamaan dan membuat kapal keluar dari arah haluan menuju kearah kepulauan dan sangat jelas sekali bahwa tindakan-tindakan koreksi yang dilakukan oleh para perwira itu tidak cukup. “Telah banyak ditulis dan dibicarakan tentang budaya keselamatan dan pokok masalahnya mungkin bisa disimpulkan seperti melakukan hal yang benar disaat yang tepat, pertama-tama mencegah dan selanjutnya menanggapi/menanggulangi insiden-insiden kecil dan besar yang berpotensi merusak kehidupan, lingkungandan harta kekayaan (property)”

Bisa disimpulkan bahwa kapal tidak akan bisa kandas jika:

  1. a) digunakan peta berskala besar untuk memplot posisi, dengan demikian arah haluan kapal yang secara bertahap akan menuju kearah kepulauan bisa terlihat dengan jelas, dan/atau
  2. b) direcanakan jalur lintasan yanglebih lebar saat melewati kepulauan, dan/atau
  3. c) diterapkan batas-batas keselamatan yang jauh lebih aman pada saat melakukan koreksi-koreksi untuk mengimbangi penyimpangan dan keadaan (drift & setting).

Juga ada kemungkinan bahwa pemantauan keadaan laut dari anjungan (l o o k o u t) dan penggunaan radar tidak dilakukan dengan benar. Sedangkan,kepulauan itu terlalu rendah dan menjadi pertanyaan apakah bisa dikenali/terlihat pada malam hari didaerah tropis yang gelap. Tidak jelas apakah dan mengapa kepulauan itu tidak bisa terpantau oleh radar, akan tetapi adalah suatu kenyataan yang sudah diketahui bahwa radar-radar bisa terganggu kinerjanya oleh banyak hal pada saat digunakan didaerah/perairan tropis dan bisa saja terjadi hujan dan digunakannya sea clutter  settings untuk mengatasinya, sehingga pada saat yang sama menghilangkan atau mengurangi gambar/bayangan pulau-pulau itu di layar radar.

 Klaim-klaim lainnya

Contoh-contoh kasus diatasberfokus pada masalah navigasi, yang memungkinkan seseorang untuk melihat dengan sangat jelas dampak dari elemen manusianya. Namun ada sejumlah jenis klaim lainnya dimana elemen manusianya seringkali terlihat memainkan peran yang menonjol. Dalam sejumlah klaim yang lebihbersifat teknis kadang-kadang jalan-jalan pintas (shortcuts) dan pengabaian-pengabaian dalam perawatan dan pengoperasian mengakibatkan hal-hal seperti kerusakan-kerusakan mesin,dalam beberapa kasus diikuti oleh kandas atau tabrakan.

Kita di ingatkan kembali pada rekomendasi-rekomendasi untuk perawatan bahan bakar yang berasal dari hasil laporan-laporan analisis bahan bakar, yang dalam sejumlah klaim tidak dipatuhi (adhered to). Hal ini bisa mengakibatkan klaim-klaim yang rumit dan secara teknis sulit untuk ditangani.

Kelalaian manusia mungkin juga bisa memainkan peran dalam kasus-kasus yang lebih tragis, seperti ledakan-ledakan dan kebakaran, seringkali disertai dengan cedera-cedera yang parah dan bahkan sampai berakibat kematian. Contoh paling umum/klasik adalah dimana telah diberikan izin kerja panas di lokasi tertentu di kapal tanker yang sedang memuat air balas dan, setelah pekerjaan pengelasan itu selesai, diputuskan ditempat bahwa selagi mereka masih berada ditempat kerja, mereka juga akan diminta untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan pengelasan kecil di lokasi lain, yang tidak ercakup di dalam izin kerja panas itu. Akibatnya terjadi ledakan yang hebat dan menyebabkan kematian serta kerusakan yang besar di kapal.

 Kesimpulan

Contoh-contoh diatas bukan halyang aneh/istimewa. Daftar insiden terus bertambah, dengan sejumlah kasus-kasus kecil dan besar dalam lingkup semua segmen klaim yang jelas-jelas disebabkan oleh kurang/tiadanya perhatian dan/atau tidak ada/kurangnya mematuhi standar-standar operasi yang aman. Telah banyak ditulis dan dibicarakan tentang budaya keselamatan dan pokok masalahnya mungkin bisa disimpulkan seperti melakukan hal yang benar disaat yang tepat, pertama-tama mencegah dan selanjutnya menanggulangi insiden-insiden kecil dan besar yang berpotensi merusak kehidupan, lingkungan dan harta kekayaan (property).

Pengoperasian kapal-kapal (harusmengikuti) sepenuhnya peraturanperaturan, instruksi-instruksi dan panduan-panduan (guidelines) yang diharapkan diketahui/dipahami oleh dan sudah melekat pada para perwira dan tamtama.Kode ISM memiliki sejumlah besar kodifikasi (ketentuan-ketentuan) tentang apa yang dikenal sebagai ketrampilan pelaut yang baik (good seamanship).

Suatu budaya keselamatanmungkin bisa dicapai lewat instruksi-instruksi tertulis, namun pada akhirnya merupakan pertanyaan tentang cara berfikir yang umum (common mind-set) diseluruh organisasi. Manajemen di kantor darat dan di kapal tidak hanya perlu memastikan bahwa ketrampilan-ketrampilan formals udah dimiliki namun juga memastikan, mendorong dan memberikan inspirasi sikap-sikap yang diperlukan untuk mencapai sasaran-sasaran keselamatan.

Statistik telah membuktikan tanpa ragu lagi bahwa ber-investasi untuk menimbulkan budaya keselamatan jangka panjang akan menguntungkan. Tidak adanya budaya keselamatan itulah yang menyebabkan biaya-biaya besar,dan bukannya keselamatan itu sendiri.

(Sumber : “Gard News”, Kontributor : Jecidi )

Posted 22/11/2016 by jecidi in Safety Management

UAP AIR dan PEMANASAN BUMI   Leave a comment


Para pakar ilmu pengetahuan mengatakan bahwa CO2 yang berasal dari ulah / kegiatan manusia merupakan penyebab yang terbesar pemanasan dunia akhir-akhir ini. Namun para pakar yang skeptis terhadap perubahan iklim (climate skeptics) tetap percaya bahwa uap-airlah yang bertanggung jawab atas sebagian besar dampak rumah kaca (greenhouse effect) dan pemanasan Bumi yang bisa menyebabkan planet kita tak layak huni (inhabitable). Dalam tulisan ini diungkapkan mengapa kedua pendapat / asumsi itu dianggap sama-sama memiliki unsur kebenaran.

Uap Air

Tanpa adanya uap air suhu udara di atmosfir akan menjadi 30°C lebih rendah.
Disinilah terdapat bahan-bahan ramuan untuk teori konspirasi: uap air merupakan faktor paling penting dalam mempengaruhi dampak rumah kaca namun tidak dimunculkan dalam “Daftar gas-gas rumah kaca yang ber- tanggung jawab untuk pemanasan Bumi secara antropogenik (yang berasal dari ulah kegiatan manusia) yang diterbitkan oleh PBB”.

Kritik-kritik tentang pendapat mengenai pemanasan global menihilkan fakta sederhana ini dan telah berbalik menjadi salah satu argumen-argumen terkuat mereka untuk menyabot tindakan- tindakan penyelamatan iklim (sabotage decisive climate action).

Mengapa Juri (Panel) Internasional dari Badan PBB yang menangani perubahan iklim (IPCC) tidak memasukkan uap air dalam daftar gas-gas rumah kaca? Jawabannya adalah, karena uap air itu sendiri tidak meningkatkan suhu-suhu atmosfir. Uap air memang hanya melipat-gandakan pemanasan yang sedang terjadi.

Dampak jangka-pendek

Peran uap air dalam sistim iklim di Bumi ditentukan oleh keberadaannya yang sangat singkat di atmosfir itu sendiri dan keaktifannya memerangkap panas. Sementara tambahan CO2 dari pabrik-pabrik dan pesawat-pesawat terbang dan kapal-kapal laut bisa tetap berada di atmosfir selama berabad- abad, uap air tambahan hanya akan berada beberapa hari sebelum jatuh ke Bumi sebagai air hujan.

Konsentrasi uap air di atmosfir dalam keadaan seimbang. Atmosfir hanya dapat menahan lebih banyak uap air jika suhu secara keseluruhannya naik.

Sehingga suatu dampak pemanasan oleh emisi-emisi yang diakibatkan CO2 yang berasal dari ulah/kegiatan manusia akan meningkatkan jumlah uap air dalam atmosfir.

Uap air tambahan malah menyebabkan pemanasan bertambah, sehingga melipat-gandakan dampak pemanasan CO2. Uap air mengikuti perubahan- perubahan suhu, dan bukan menyebabkan atau seperti apa yang dikatakan oleh para ahli tentang iklim (climatologist) menjadi penyebabnya.

Sebagai suatu dampak masukan balik, uap air bisa diperbandingkan sebagai sebuah turbocharger mobil yang hanya meningkatkan daya mesinnya. Akan tetapi, jumlah uap air dalam atmosfir berubah dari wilayah ke wilayah. Sementara hampir bisa dipastikan bahwa tidak terdapat uap air dalam udara di atas wilayah-wilayah padang-padang pasir atau artika dan antartika, udara di atas katulistiwa bisa mengandung sampai 4% uap air.

Di wilayah-wilayah katulistiwa yang lembab, dimana selalu telah ada suatu dampak rumah kaca alami yang kuat, tambahan CO2 dan uap air memiliki dampak kecil atas iklim setempat. Kebalikannya memang benar, untuk tempat-tempat yang dingin dan kering dan ini merupakan salah satu alasan mengapa pemanasan jauh lebih terasa di wilayah-wilayah kutub.

Tanpa mempertimbangkan perbedaan- perbedaan wilayah, atmosfir itu mengandung hanya sekitar 0,4% uap air dan CO2 sepuluh kali lebih sedikit. Angka konsentrasi yang relatif kecil ini merupakan argumen lain yang sering disebutkan sebagai contoh untuk membuktikan kesalahan atas pendapat mengenai pemanasan global yang berasal dari ulah / kegiatan manusia. Jika kandungannya dalam atmosfir hanya 0,04% saja, bagaimana bisa CO2 dituduh sebagai penyebab kenaikan suhu-suhu merupakan ucapan yang ingin dilontarkan oleh mereka yang skeptis.

Sekali lagi teka-teki itu bisa dijawab dengan mudah.

Oksigen dan nitrogen merupakan elemen-elemen paling banyak sekali di dalam atmosfir Bumi, sekitar 99%nya.

Namun tidak satupun dari gas itu memerangkap atau melepaskan panas. Hal di atas menjadi alasan mengapa uap air bertanggung jawab atas terjadinya sebagian besar dari dampak rumah kaca alami. Para pakar ilmu pengetahuan memperkirakan bahwa tanpa adanya uap air, suhu rata-rata atmosfir akan berada pada 30 derajat Celcius lebih rendah. Di lain pihak, keberadaan CO2 bertanggung jawab atas sejumlah jauh lebih kecil namun masih dalam jumlah yang memadai dampak pemanasan alami.

Jika kesemuanya masih tetap seperti ini, kita masih bisa melanjutkan kehidupan di atas suatu planet yang hangat dan menyenangkan. Namun kita tahu bahwa jika terlalu banyak yang baik seringkali malah tidak baik. Sejak dimulainya revolusi industri, kandungan CO2 di atmosfir telah meningkat dari 0,028 % menjadi 0,04 %. Sampai sejauh ini, peningkatan di atas telah menyebabkan kenaikan suhu sekitar 0,7 derajat Celcius.

Menurut IPCC, sekitar separuh dari pemanasan ini disebabkan oleh pemanasan balik yang berasal dari uap air. Namun hal ini tidak akan terjadi tanpa penambahan CO2 yang seolah- olah dipompakan kedalam atmosfir. CO2 bisa diibaratkan sebagai perampok bank, sedangkan uap air bisa diibaratkan hanya sebagai sopir yang membawanya kabur.

Posted 26/04/2015 by jecidi in Iptek

GREEN HOUSE EFFECT   Leave a comment


GREEN HOUSE EFFECT?

Dari angkasa, atmosfir kita ini hanya telihat seperti selapis tipis gas yang menyelimuti sebuah planet yang padat dan besar sekali. Namun justru cincin terluar berupa gas dengan nama salah kaprah ”greenhouse effect” (yang artinya ”berdampak seperti rumah berdinding dan beratap kaca seluruhnya”) inilah yang sesungguhnya memungkinkan berlangsungnya kehidupan di Bumi – walaupun begitu kita juga mengetahui bahwa dampak ini kalau tidak bisa dikontrol juga akan mampu menghancurkannya.

Matahari merupakan sumber utama energi dari Bumi. Sebuah bintang yang sedang terbakar begitu panasnya yang bisa kita rasakan panasnya dari jarak lebih dari 150.000.000 km. Cahayanya masuk ke dalam atmosfir dan terpancar di atas planet kita. Sekitar sepertiga dari energi matahari ini dipantulkan kembali ke alam semesta lewat kilauan permukaan (glimmering) bongkah-bongkah lapisan es (glaciers), air dan permukaan-permukaan benda lain yang mengkilap. Akan tetapi, dua pertiga sisanya diserap oleh Bumi, yang memanaskan tanah, lautan-lautan dan atmosfir/lapisan udara.

Sebagian besar dari panas ini memancar (radiates) kembali ke luar angkasa, namun sebagian disimpan di atmosfir. Proses ini disalah-kaprahkan dengan nama greenhouse effect. Tanpa proses ini, suhu rata-rata Bumi akan sangat dingin (sekitar minus 18 derajat Celcius), meskipun matahari secara terus menerus memasok energinya.

Di sebuah dunia yang dingin seperti ini, kehidupan di Bumi mungkin akan tidak pernah muncul dari laut. Bagaimanapun juga, kita sesungguhnya harus berterima kasih dengan adanya ”greenhouse effect”, karena panas yang dipantulkan dari Bumi terperangkap di atmosfir, dan memberikan kita suatu suhu rata-rata sebesar 14 derajat Celcius yang nyaman.

Jadi bagaimana hal itu bisa terjadi? Cahaya-cahaya matahari menembus atap dan dinding sebuah rumah kaca (glass roof and walls a greenhouse). Namun setelah memanaskan tanah, selanjutnya cahaya-cahaya matahari akan memanaskan udara yang berada di dalam rumah kaca, dan panil-panil kaca memerangkap udara yang panas itu dan suhunya jadi meningkat naik.

Akan tetapi, planet kita tidak memiliki dinding-dinding kaca; salah satu benda yang bertindak sebagai dinding tersebut hanyalah atmosfir kita. Namun dalam hal ini , proses-prosesnya berjalan lebih rumit daripada dalam sebuah rumah kaca yang sebenarnya.

Seperti sebuah radiator di sebuah ruang

Hanya sekitar separuh dari semua energi matahari yang sampai di Bumi berupa radiasi sinar infra merah dan menyebabkan pemanasan seketika saat

melewati atmosfir. Separuh lainnya merupakan (partikel/zarah) berfrekuensi tinggi, dan hanya diubah menjadi panas saat menghantam Bumi dan kemudian dipantulkan kembali ke ruang angkasa sebagai gelombang- gelombang radiasi sinar infra merah.

Transformasi radiasi (energi) matahari ini menjadi radiasi sinar infra merah merupakan sesuatu yang krusial, karena radiasi sinar infra merah bisa diserap oleh atmosfir. Sehingga, pada saat malam yang dingin dan terang misalnya, bagian dari radiasi sinar infra merah yang biasanya akan menghilang ke ruang angkasa ini tertangkap di atmosfir Bumi. Dan seperti sebuah radiator di tengah-tengan suatu ruangan, atmosfir kita memancarkan panas ini ke semua arah.

Sebagian dari panas ini akhirnya dikirimkan keluar memasuki ruang hampa yang membekukan (frozen nothingness of space), sebagiannya lagi dikirimkan kembali ke Bumi dan yang meningkatkan suhu-suhu dunia. Seberapa panas sampai di bawah sini tergantung pada seberapa banyak energi yang diserap di atas sana – dan selanjutnya, tergantung pada komposoisi dari attmosfir.

Pergantian dari dioksida karbon (CO2) ke Oksigen (O2)

Nitrogen, oksigen dan argon mengisi 98% dari ruang atmosfir Bumi. Namun tidak menyerap secara signifikan radiasi sinar infra merah, sehingga tidak berkontribusi terhadap dampak rumah kaca (greenhouse effect). Eksponen- eksponen yang lebih eksotik seperti uap air, dioksida karbon, ozon, metana, oksida nitrogen, dan gas-gas klorofluoro-karbonlah yang menyerap panas dan akhirnya meningkatkan suhu-suhu di atmosfir.

Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa sampai 2,7 milyar tahun yang lalu, terdapat begitu banyak dioksida karbon (CO2) dan metana di atmosfir kita sehingga menyebabkan suhu rata- rata atmosfir kita saat itu setinggi 70 derajat Celcius. Namun bakteri-bakteri serta tumbuh-tumbuhan secara perlahan mengubah CO2 menjadi oksigen dan konsentrasi/kandungan CO2 di atmosfir kita turun menjadi hanya sekitar 0,038 % atau 383 bagian setiap sejuta satuan ukuran (ppm), sebuah unit parameter yang digunakan untuk mengukur kandungan- kandungan gas yang sangat kecil sekali yang telah menjadi semacam satuan mata-uang dalam perdebatan- perdebatan tentang perubahan cuaca.

Perubahan berskala kecil (miniscule) – namun berdampak dunia

Namun demikian selagi kita masih berada jauh dari menyaksikan / mengalami konsentrasi-konsentrasi CO2 di atmosfir kita, perubahan-perubahan kecil telah merubah cara-cara kerja sistem pemanasan semesta kita. Pengukuran-pengukuran jumlah dioksida karbon dari Laboratorium Manua Loa di Hawaii menunjukkan bahwa CO2 meningkat dari sekitar 313 ppm di tahun 1960 menjadi sekitar 375 ppm di tahun 2005.

Kenaikan itu berarti bahwa untuk setiap sejuta partikel/zarah di atmosfir kita sekarang ini, terdapat 62 partikel CO2 tambahan dibandingkan dengan di tahun 1960. Meskipun angka ini nampaknya tidak terlalu besar, para pakar ilmu pengetahuan mengatakan bahwa kenaikan ini – kemungkinan besar disebabkan oleh ulah/kegiatan manusia – dan yang paling bertanggung jawab atas kenaikan suhu-suhu Bumi selama puluhan tahun terakhir ini.

Meskipun istilah ”greeenhouse effect ” atau ”dampak rumah kaca” ini tidak cocok mungkin masih merupakan alat berguna bagi publik untuk memahami suatu proses alam yang susah dimengerti/rumit. Sebagian besar orang bisa membayangkan panas serta kekurangan udara yang bisa dirasakan dalam suatu greenhouse. Sekarang ini dimana Bumi telah mulai bertambah panas, kita menyadari bahwa dunia kita yang seperti rumah kaca tidak memiliki jendela yang bisa kita buka untuk mengambil udara segar.

Ilustrasi klik tautan ini…http://bit.ly/1b327fA

Posted 26/04/2015 by jecidi in Iptek

GLOBAL WARNING   Leave a comment


GLOBAL WARMING?

Global warming didefinisikan sebagai peningkatan suhu rata- rata dari Bumi. Akibat dari suhu Bumi makin panas, malapetaka-malapetaka seperti angin topan, kekeringan dan banjir makin sering terjadi.

Selama 100 tahun terakhir, suhu rata-rata udara di dekat permukaan Bumi telah meningkat 1,3 °F atau sedikit kurang dari 1°C. Kelihatannya memang tidak seberapa besar, namun kenaikan ini menurut para pakar ilmu pengetahuan dunia jelas sekali bertanggung jawab atas peningkatan angin-angin topan, banjir- banjir besar dan kebakaran-kebakaran hutan yang terjadi di tahun-tahun akhir ini.

Data yang diperlihatkan oleh mereka (IPCC) menunjukkan bahwa peningkatan suhu sebesar 1°C telah membuat Bumi menjadi lebih panas dibandingkan dengan paling kurang seribu tahun yang lalu. Menurut catatan NASA, tahun- tahun terjadinya 11 kali puncaknya panas semuanya telah berlangsung dalam 13 tahun terakhir ini, dan setengah tahun pertama tahun 2010 telah tercatat dalam sejarah sebagai tahun yang terpanas.

Badan Pemantau Perubahan Cuaca PBB yang bernama ”Intergovernmental Panel on Climate Change“ (IPCC) memproyeksikan bahwa suhu permukaan Bumi kemungkinan akan meningkat lagi menjadi 1,1 s/d 6,4 derajat Celcius selama abad ke-21 ini. Estimasi lingkup kenaikan yang tinggi ini terjadi karena kerumitan yang luar biasa dari sistem cuaca Bumi kita dan ketidak-pastian perihal apakah umat manusia akan berjuang melawan pemanasan ini atau akan membiarkannya berjalan seperti biasa.

Walaupun kita mampu melakukan usaha-usaha pengurangan beban cuaca dengan segera, sampai tahap tertentu pemanasan ini sudah tak terelakkan. Samudera-samudera, misalnya, bertindak sebagai gudang penyimpan panas yang besar sekali yang bisa mengikuti perubahan-perubahan suhu udara selama berabad-abad atau bahkan sampai beratus tahun. Bongkah- bongkah es yang mencair memantulkan lebih sedikit cahaya matahari daripada sebelumnya, sehingga planet kita makin lama makin banyak menyerap panas.

Bagaimana persisnya perubahan- perubahan ini akan mempengaruhi kecenderungan pemanasan sampai sekarang belumlah jelas. Semua yang kita ketahui secara pasti adalah bahwa Bumi ini akan menjadi lebih panas dan emisi-emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh umat manusia merupakan penyebab yang penting dalam kejadian ini.

Apakah perubahan cuaca dan pemanasan Bumi itu satu dan serupa?

Dengan singkat bisa dikatakan: pemanasan Bumi adalah penyebabnya, perubahan cuaca adalah dampaknya.

Para pakar ilmu pengetahuan lebih menyukai untuk berbicara tentang perubahan cuaca daripada pemanasan Bumi, karena suhu-suhu Bumi yang lebih tinggi tidaklah perlu diartikan bahwa di setiap tempat di Bumi akan terjadi suhu yang lebih panas pada saat tertentu.

Pemanasan terkuat terjadi di Kutub- kutub Bumi, Artika & Antartika dan akan berlangsung terus begitu. Di tahun-tahun belakangan ini, menurut U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration, turunnya suhu-suhu udara di Artika telah tercatat sampai 5 derajat Celcius di atas normal.

Namun pola-pola angin berubah arah bisa berarti bahwa Artika yang menghangat, misalnya, bisa menyebabkan musim-musim dingin yang lebih mencekam di benua Eropa. Cuaca-cuaca regional juga akan berubah, namun dalam cara-cara yang sangat berbeda. Sejumlah wilayah seperti bagian-bagian dari Eropa Utara atau Afrika Barat mungkin akan menjadi lebih basah/hujan, sementara wilayah-wilayah lainnya seperti Laut Tengah (Mediterranian) dan Afrika Tengah kemungkinan besar akan mendapatkan pengurangan hujan.

Masalahnya bukan hanya seberapa parah pemanasan Bumi terjadi, namun juga seberapa cepat. Selama ini selalu terjadi perubahan-perubahan cuaca secara alami – Abad Es dan saat-saat pemanasan sedang diantaranya – namun hal itu berlangsung secara pelan (evolved) selama 50.000 – 100.000 tahun.

Di masa lampau, perubahan cuaca dipicu oleh adanya perubahan- perubahan pada output dari tenaga matahari, perubahan posisi dari lempeng-lempeng benua/kontinental, perputaran poros Bumi itu sendiri. Banyak tumbuh-tumbuhan dan hewan- hewan yang mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan cuaca yang berjalan lambat ini. Umat manusia- pun telah berubah habitatnya sesuai dengan kedatangan dan kepergian lapisan-lapisan es (glaciers).
Akan tetapi kesemuanya yang dinamakan kekuatan alam, telah dilanggar oleh pemanasan yang terlihat selama 30 tahun akhir ini. Sejak tahun 1980, suhu Bumi telah meningkat lebih cepat dari sebelumnya, sebagaimana diyakini oleh para pakar ilmu pengetahuan itu.

Perubahan radikal ini menyebabkan hilangnya secara mendadak keragaman kehidupan (biodiversity), merosotnya dalam jumlah dan ragam sejumlah tumbuhan dan hewan. Banyak spesies yang tidak mampu beradaptasi dengan cukup cepat. Menurut penilaian Amerika Serikat yang terbaru, 20 sampai 30% spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan akan menghadapi kepunahan jika suhu Bumi meningkat antara 1,5 sampai 2,5 derajat Celcius. Laporan Tipping Point oleh Allianz dan WWF mengingatkan bahwa, bagi umat manusia-pun, perubahan cuaca ke arah Bumi yang lebih panas tidak akan menjadi suatu transisi yang lancar. Duabelas wilayah di Bumi bisa jadi akan mengalami dampak khusus akibat perubahan yang mendadak, diantaranya adalah Kutub Utara, hutan hujan Amazon dan California.

Semua fakta tersebut di atas mengarahkan para pakar ilmu pengetahuan untuk menyimpulkan bahwa pemanasan Bumi yang sedang kita alami sekarang ini bukanlah suatu peristiwa yang terjadi secara alami dan juga bukan diakibatkan oleh peristiwa- peristiwa atau penyebab-penyebab yang bersifat alami. Menurut mereka emisi- emisi industri hasil ulah perbuatan manusialah yang bertanggung jawab terhadap semua fenomena yang anomali sekarang ini.

Ilustrasi klik tautan ini….http://bit.ly/1b327fA

Posted 26/04/2015 by jecidi in Iptek

SEJARAH AWAL KAPAL BERTENAGA MESIN   2 comments


Jika secara acak Anda bertanya kepada orang-orang di jalan untuk menyebutkan nama kapal-kapal yang pernah terkenal, kebanyakan dari mereka akan menyebut Titanic, QE2, Victory, Cutty Sark atau bahkan Great Britain. Menurut Keith Ray kemungkinan orang akan menyebut Charlotte Dundas sangat kecil sekali.

ir46-sejarahkapal-img01

Kapal uap berdayung putar atau paddle steamer Charlotte Dundas bisa saja tidak dikenal oleh publik secara luas seperti kapal-kapal terkenal lainnya, walaupun kapal ini betul-betul berhak menempati bagian yang paling eksklusif di museum atau gedung pameran Hall of Fame. Tidak seperti kapal-kapal terkenal lain yang telah disebutkan di atas, kapal ini sesungguhnya merupakan kapal pertama yang digerakkan oleh mesin yang bukan saja dapat memindahkan massanya sendiri, namun fakta juga menunjukkan bahwa ini adalah kapal pertama di dunia yang berhasil mendemonstrasikan dirinya sebagai kapal uap yang benar-benar berlayar.

Meskipun akhirnya menjadi korban dari awal kepedulian masyarakat akan masalah lingkungan dalam terusan-terusan atau kanal-kanal di Inggris, Charlotte Dundas tidak diragukan lagi telah menjadi kapal komersial bertenaga mesin pertama kali yang sukses di dunia.

Sayangnya Charlotte Dundas tidak bertahan lama. Setelah melakukan pelayaran perdananya di tahun 1803, kapal ini ditarik dari kegiatan operasinya untuk alasan yang tidak ada sangkut pautnya dengan rancangan teknisnya, dan kemudian rusak karena dianggurkan di bagian sungai yang airnya tidak mengalir sampai dibesi-tuakan di tahun 1861. Kapal ini bukan saja tidak pernah secara komersial berhasil dioperasikan, namun juga tidak ada satupun gambar fotonya. Masa kerjanya yang sangat pendek berlangsung sebelum adanya fotografi, sehingga hanya lukisan-lukisan cat saja yang bisa memperlihatkan seperti apa bentuknya.

William Symington

Charlotte Dundas dibangun oleh William Symington, seorang ahli mesin, di Grangemouth, Skotlandia, dan pakar khusus mengenai tongkang-tongkang yang ditarik di dalam Terusan Forth dan Clyde. Proyek pembangunan kapal ini secara finansial didukung oleh Lord Dundas, karena itu kapal dibaptis dengan menggunakan nama anak perempuannya Charlotte. Kapal ini untuk pertama kalinya berlayar di sebuah terusan di Glasgow pada bulan Januari 1803 dengan Lord Dundas beserta keluarga dan teman-temannya di atas kapal.

Setelah mengalami beberapa perbaikan di bulan Maret 1803, kapal ini menarik tongkang-tongkang berbobot mati 70 ton di sepanjang terusan Forth dan Clyde, sejauh lebih dari 30 km, dan walaupun melawan angin kencang dari arah haluan yang menghentikan sebagian besar lalu lintas yang berada di terusan itu, ia mampu mengakhiri pelayaran kapal dalam sembilan jam dengan kecepatan rata-rata sekitar 3 km/jam. Hal ini dengan jelas menunjukkan betapa praktis/sesuainya mesin penggerak uap untuk perahu- perahu penarik (towing boats).

Panjang Charlotte Dundas 17 m dan lebar 5 m, dan digerakkan oleh mesin uap horizontal bersilinder tunggal, berdaya 10 hp, yang dikembangkan dari rancangan dasar mesin uap James Watt, dan langsung menggerakkan roda dayung tunggal (single paddle wheel) yang ditempatkan di tengah-tengah sebuah lubang (well) di buritan kapal.

Pada awalnya kapal nampak sangat menjanjikan dan menjadi harapan karena secara komersial memiliki potensi, dan juga mampu membuktikan bahwa kekuatan uap benar-benar bisa digunakan untuk menarik tongkang- tongkang berat menggantikan kuda- kuda penarik yang lebih pelan yang digunakan untuk menarik tongkang pada masa itu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa yang menjadi latar belakang untuk memelopori pengembangan ini, dan mengapa kapal ini hanya memiliki masa hidup yang begitu pendek?

Tenaga uap digunakan di kapal laut

Sejarah kapal-kapal bertenaga uap sangat panjang, rumit dan agak sedikit kabur, karena adanya begitu banyak persaingan klaim sebagai yang pertama. Pada awal tahun 1690, Denis Papan dari Perancis merancang kapal dengan dayung putar (paddle) yang digerakkan oleh sebuah mesin uap jenis Newcomen, namun ketika akhirnya benar-benar membangun dan mendemonstrasikan sebuah model dengan sukses, dia dihantui dengan ketakutan orang-orang perahu (boatmen fearful) akan adanya kemungkinan bahwa penemuannya bisa menghancurkan sumber-sumber mata pencarian mereka yang berasal dari kegiatan lalu-lintas di terusan/kanal yang pada masa itu masih tergantung pada tenaga orang dan kuda.

Pada tahun 1737 Jonathan Hulls, orang Inggris, mematenkan rancang bangun sebuah kapal bertenaga uap, namun ternyata tidak bisa diwujudkan dalam praktek karena mesinnya sangat berat, dan akhirnya tidak pernah dibuat. Di tahun 1783 orang Perancis lainnya, Marquis Claude de Jouffroy d’Abbans, merancang dan membuat sebuah kapal dengan panjang 45 m dan memasang jenis mesin uap lebih efisien yang dikembangkan oleh James Watt. Setelah terbukti sukses dalam awal-awal uji- coba di sungai, Marquis kehabisan uang (suatu faktor yang umum terjadi dalam kebanyakan pengembangan teknologi pada masa itu), dan tidak bisa mendapatkan dukungan-dukungan finansial, sehingga akhirnya terpaksa menghentikan kegiatan kerjanya.

Beralih ke trans-Atlantik, sungai-sungai besar seperti Hudson dan Mississippi idealnya cocok untuk dilayari dengan kapal uap, dan di masa itu memang telah banyak dilakukan pengembangan berskala kecil, namun semuanya kandas karena kurangnya dukungan finansial yang memadai. James Rumsey yang didukung sebentar oleh George Washington, membuat kapal uap yang digerakkan dengan semburan air (water- jet powered by steam), namun ia juga gagal secara menyedihkan karena kekurangan dana. John Fitch melanjutkannya dengan cara lain yang agak aneh, sebuah kapal dengan panjang 10 m dipasangi sebuah mesin uap yang bisa memutar 12 dayung dengan posisi tegak yang secara bergantian masuk ke air dan terseret / tertarik ke belakang (pulled backwards), kemudian naik lagi untuk menjalani langkah berikutnya. Karena begitu kompleks/rumitnya cara ini, tidak heran jika rancang bangun Heath- Robinson yang mencoba mengikutinya kemudian juga gagal.

Oliver Evans (1755-1819) mengambil langkah lebih maju dengan menggunakan tekanan uap yang tinggi, mengganti sistem kondensasi dengan sistem atmosfirik yang kemudian dijadikan norma/ketentuan. Malangnya tegangan (stress) pada ketel-ketel uap yang terbuat dari tembaga dan bekerja dengan tekanan sekitar 50 psi ini sering menyebabkan terjadinya ledakan yang menakutkan, yang akhirnya menjadi penyebab terhentinya pengembangan kapal-kapal uap selama bertahun-tahun kemudian.

Di tahun 1790-an Samuel Morey membangun serangkaian kapal-kapal kecil bertenaga uap dengan sukses, namun tidak berlanjut karena ukurannya sangat kecil sehingga secara komersial tidak menguntungkan. Kemudian ia mulai menggunakan rancang bangun dengan dayung- dayung putar di samping kapal (side paddles), dan bereksperimen dengan sebuah dayung putar di buritan (stern paddle) yang memberikan kinerja yang jauh lebih baik dan bisa melaju dengan kecepatan 8 (delapan) km/jam. Morey mendapatkan tawaran dari Robert Livingstone, yang dikemudian hari membiayai percobaan-percobaan berisiko (ventures) yang lebih berhasil dari Fulton, namun kemudian ia menolak tawaran untuk mengembangkan rancang bangun proyek komersial yang lebih berisiko, karena berkeinginan untuk tetap mengontrol sendiri kegiatan bisnisnya. Keputusan ini merupakan suatu kesalahan, karena kegiatan kerja Morey ini, seperti kebanyakan proyek sejenisnya, akhirnya gagal justru disebabkan oleh kurangnya dukungan finansial.

Kemajuan di Inggris

Kembali ke fokus Inggris pada masa yang sama, seseorang bernama Patrick Miller dari Dulswinton, di Dumfries, yang memiliki saham bisnis teknik rekayasa Carron & Co, dan seorang penemu amatir dalam bidang kelautan yang bersemangat, telah melihat salah satu kapal pengangkut kecil bertenaga uap yang dibangun oleh William Symington. Miller cukup terkesan dan menugaskan Symington untuk memasang salah satu dari mesin-mesin uap yang dipatenkan ke dalam sebuah kapal pesiar kecil berlambung ganda, dimana roda dayung putarnya (paddle wheel) ditempatkan dekat buritan dan berada diantara kedua lambung gandanya. Kapal tersebut dibangun dan terbukti sukses dalam uji-coba pada bulan Oktober 1788 di danau Dalswinton yang berdekatan dengan rumah Miller.

Setahun kemudian Symington membangun kapal yang lebih besar, dengan panjang 18 m, dengan dua roda dayung putar ganda pada kedua sisinya yang di tes di Terusan Forth dan Clyde. Pada awalnya timbul masalah yang

serius dengan roda-roda dayung putar yang mudah patah, namun pada bulan Desember 1789, bersama kegiatan kerja pengembangan dari Miller, kapal tersebut bisa berlayar di sepanjang terusan dalam jarak yang cukup jauh dan mampu mencapai kecepatan 11 km/jam. Symington telah mendemonstrasikan bahwa sebuah kapal uap bisa berhasil tanpa menimbulkan rasa khawatir atau was- was akan terjadi kebakaran atau peledakan, yang umum terjadi pada masa itu, namun tetap harus memenuhi persyaratan-persyaratan dasar agar secara komersial sukses!

Sayangnya pada masa sekitar era itu, Miller mulai merasa khawatir dengan besarnya biaya proyek yang berisiko atau venture-venture yang dilakukan, dan kemudian menarik dukungan finansialnya. Setelah berlalu 10 tahun barulah Symington memperoleh pendukung baru, Lord Dundas, dan melalui kemitraan inilah kemudian mengarah ke pembangunan Charlotte Dundas.

Keberhasilan Symington

William Symington lahir tahun 1764 di Leadhills, Lancashire Selatan, dari keluarga menengah berkecukupan namun tidak kaya, yang telah berkecimpung dalam teknologi pertambangan di Leadhills. Sebagai layaknya kebanyakan keluarga- keluarga kelas menengah terpandang pada masa itu, ambisi ayahnya adalah agar William masuk dalam organisasi gereja, atau paling kurang di Angkatan Darat, namun untungnya anak lelaki itu hanya berkeinginan untuk menerapkan pendidikannya yang baik dalam bidang rekayasa teknik (engineering), dan kemudian bergabung dengan saudaranya George dalam pembangunan sebuah mesin uap di perusahaan pertambangan di Wanlockhead, Dumfries. Manajer perusahaan pertambangan dimana ia bekerja sangat terkesan dengan usaha- usaha William yang keras, dan dengan biaya perusahaan, di tahun 1786 mengirimkannya ke Universitas Edinburg untuk mengikuti pengajaran- pengajaran tentang ilmu pengetahuan (dengan rekayasa teknik / engineering sebagai mata kuliah utama yang pada masa itu belum memakai nama yang sekarang ini digunakan).

Saat William bergabung dengan George, saudaranya yang lebih tua telah berhasil dalam membangun mesin uap Skotlandia kedua sesuai dengan rancang bangun dari James Watt. William sangat berkeinginan untuk membangun ide-ide James Watt, namun dengan menggabungkan efisiensi mesin James Watt dengan kesederhanaan dan kehandalan mesin jenis atmosferik Newcomen.

Dengan dorongan ”mentor”nya, pemilik perusahaan pertambangan Meason, William Symington mematenkan rancang bangun mesinnya yang baru, hasil modifikasi mesin Newcomen yang kemudian digunakan untuk mendayai kapal percobaannya di danau Dalswinton dalam tahun 1788 dan pada versi kapal yang lebih besar di terusan Forth dan Clyde setahun kemudian. Kegiatan kerja Symington kemudian dihentikan dengan ditariknya dukungan finansial dari Miller.

Dari tahun 1789 sampai munculnya Lord Dundas di arena kegiatan, Symington memusatkan energinya dalam membangun mesin-mesin untuk pertambangan dan pabrik-pabrik pengolahan bahan (mills). Setelah mesin uap pertamanya di Wanlockhead, ia membangun mesin-mesin di Sanquhar, dan kemudian di London ia membangun mesin pompa yang besar yang juga dilakukan oleh Watt. Di tahun 1792 ia pindah ke Falkirk, dan menjadi konsultan pada Carron Co.

Bersama Carron & Co, Symington mengembangkan batang penggerak berengkol dengan kepala silang berada di atas silinder, dan membuat sebuah mesin dengan rancang bangun ini untuk memutar kipas angin untuk peranginan batubara bagi pertambangan milik James Bruce. Rancang bangunnya terbukti sukses, dan ada sekitar 15 unit akhirnya dibangun dengan rancang bangun ini. Catatan-catatan yang ada memperlihatkan bahwa, secara keseluruhan, hingga tahun 1808 William Symington telah membangun kurang lebih 32 mesin uap.

Pengaruh Dundas

Melalui Dundas-lah akhirnya Symington kembali ke dunia rekayasa teknik kelautan (marine engineering sphere). Dundas memiliki minat-minat bisnis yang sangat luas pada pantai timur maupun pantai barat Scotlandia, dan menjadi pemimpin Perusahaan Terusan/Kanal Forth & Clyde.

Terusan merupakan hal yang sangat penting untuk bisnisnya, dan ia menyadari bahwa sebuah kapal bertenaga uap akan lebih cepat, dan secara potensial lebih murah daripada kuda penarik. Dundas dan keluarganya termasuk di antara keluarga yang paling kaya/makmur di Skotlandia pada masa itu, hal ini juga sangat membantu, sehingga pengembangan- pengembangan teknologi bisa didanai untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan bisnisnya.

Di tahun 1800, pada rapat dewan dalam perusahaannya, Dundas mengusulkan agar memiliki kapal yang dilengkapi dengan salah satu dari mesin-mesin Symington. Dewan perusahan, menyadari keuntungan-keuntungan bisnis yang sangat potensial, dan segera menyetujuinya. Rancang bangun aslinya adalah kapal dengan dua rangkaian dayung putar kembar, dan kapal ini dibangun oleh Alexander Hart & Co di Grangemouth. Kapal ini dites di sungai Carron dalam bulan Juni tahun 1801, dan berfungsi dengan baik. Namun mengalami kendala saat melakukan ujicoba di bagian terusan/kanal yang sempit, dan dianggap kurang berhasil, karena itu rancang bangunnya ditolak oleh Dewan Perusahaan.

Dalam tahun 1800 paten dari Watt sudah kedaluwarsa, dan Symington memanfaatkannya untuk membangun mesin horizontal sesuai dengan rancang bangun Watt. Ia mematenkan rancang bangunnya sendiri dan memperbaikinya dalam tahun 1801.

Karena Perusahan Pengelola Terusan telah menolak rancang bangun Symington yang pertama, Dundas secara pribadi memberikan dukungan finansial kepadanya untuk membangun kapal kedua. Symington memperlihatkan model dari rancang bangunnya yang baru, dengan puji- pujian kepadanya dan mengusulkan untuk menggunakan nama Charlotte Dundas untuk mendapatkan dukungannya. Dundas sangat mendukung rancang bangunnya, badan kapal itu dibangun oleh galangan John Allan & Co sesuai dengan rancang bangun Symington, sementara mesinnya dibangun oleh Perusahaan Carron Co. Kapal baru ini memiliki roda dayung tunggal (single paddle) yang terletak tepat di buritan.

Dan begitu pula di laut

Charlotte Dundas pertama kali berlayar dengan Dundas beserta keluarganya di atas kapal pada tanggal 4 Januari 1803. Percobaan itu merupakan sebuah keberhasilan, Dundas merasa puas, namun Symington masih ingin melakukan perbaikan-perbaikan, dan kapal yang kemudian telah diperbaikinya itulah yang akhirnya berhasil menarik dua tongkang bermuatan penuh sepanjang terusan/kanal. Bersama Charlotte Dundas tercapailah sebuah prestasi yang unik; ia menjadi kapal bertenaga mesin pertama kali dalam sejarah yang berhasil bukan hanya menggerakkan kapalnya sendiri namun juga sambil menarik dua tongkang bermuatan. Dia menjadi kapal tunda pertama kali yang pernah dibuat.

Rancang bangunnya bisa dengan mudah diubah menjadi kapal bertenaga uap yang sukses secara komersial untuk pertama kalinya. Namun demikian, yang membuat Symington kecewa berat adalah karena perusahaan pengelola terusan itu akhirnya memutuskan untuk tidak membangun kapal yang kedua, dan Symington mengalami kemunduran lebih jauh lagi ketika Duke dari Bridgewater meninggal dunia, dan membawa serta semua ide untuk pengembangan yang sama pada terusan Bridgewater.

Pada akhirnya untuk kurun waktu tertentu, isu awal mengenai lingkunganlah yang membunuh Charlotte Dundas dan rencana pengembangan selanjutnya bersama kegiatan-kegiatan lainnya. Di tengah- tengah ketakutan akan dampak ulakan air (eddies) yang ditimbulkan oleh roda dayung, dan semburan air yang ditimbulkan saat kapal melaju dengan kecepatan 3 km/jam yang dikhawatirkan akan mengikis tebing terusan/kanal, maka perusahaan pengelola terusan memutuskan untuk menentang pembuatan kapal-kapal jenis ini. Lord Dundas akhirnya kehilangan semangat untuk meneruskan proyek ini, dan pengembangan-pengembanganuntuk terusan Forth & Clyde kemudian terhenti. Kejadian ini bersamaan dengan meninggalnya Duke dari Bridgewater beberapa hari sebelum ujicoba pada bulan Maret 1803, secara efektif menjadi lonceng-kematian dari kegiatan kerja Symington dalam bidang kelautan.

Kelanjutan yang menyedihkan

Hanya beberapa bulan setelah beropersi, Charlotte Dundas ditambat dan dibiarkan terlupakan dalam bagian terusan yang airnya tidak mengalir di Bainsford, dan kemudian dibesi-tuakan pada tahun 1861. Symington tidak pernah dibayar sepenuhnya untuk kegiatan kerjanya dalam mengembangkan kapal, dan dilupakan sebagai orang yang sangat kecewa.

Petualangan-petualangan selanjutnya dalam sektor pertambangan batubara, tercatat dalam Penanggalan Pertambangan Batubara (Callendar Colliery) di Falkirk, sebagai sesuatu yang buruk, dan menyebabkan perdebatan- perdebatan di Pengadilan Tinggi yang baru berakhir sampai tahun 1810 dengan kekalahan pada pihak Symington. Dengan kantong kosong, kesehatan yang buruk dan hutang, William Symington yang bangkrut dan istrinya pindah dari Skotlandia ke London untuk hidup bersama putri dan menantu laki-lakinya. Symington meninggal dunia di tahun 1831, dan dimakamkan di pemakaman St Botulph. Di tahun 1890 patung setengah bahu (bust) dari Symington diresmikan di Edinburg di gedung yang sekarang dijadikan museum nasional, sebagai peringatan pada seorang ahli mesin dan pionir besar.

Dari berbagai cara pandang, keberhasilan dari Charlotte Dundas sesungguhnya malahan menyebabkan kemunduran pengembangan kapal- kapal tunda bertenaga mesin karena ketakutan akan terjadinya erosi dari tebing terusan/kanal. Pengembangan kapal-kapal bertenaga uap memang berlanjut, namun, terutama untuk penyeberangan samudera Atlantik dengan Robert Fulton, namun juga masih terkait dengan Henry Bell di Skotlandia.

Meskipun tidak terdapat gambar- gambar foto dari Charlotte Dundas, masih banyak lukisan-lukisan sangat rinci yang selamat, dan di tahun 1987 Dewan Daerah Falkirk meresmikan replikla dari kapal itu. Diluncurkan sebagai bangunan kapal yang belum selesai oleh Provost dari Falkirk di tahun 1986, dan 2/3 skala replika telah memiliki a very chequer career. Badan kapalnya dibangun oleh Galangan Mackay di Arbroath, kemudian diletakkan dalam bentuk yang belum selesai selama beberapa tahun di Grangemouth, dimana rencananya untuk dijadikan leisure ”fitting out” yang menjadi bagian dari sebuah Rancangan Pelatihan Pemuda. Proyek ini berakhir dengan perubahan-perubahan dan pemangkasan program-program pelatihan pemuda di awal tahun 1990. Replika yang tidak selesai itu terapung selama tiga tahun tanpa tujuan di terusan Forth dan Clyde. Dewan British Waterways akhirnya menginginkan untuk memindahkannya dari tempatnya, namun sampai saat ini bangkai kapal yang semakin membusuk itu masih bertahan ditempatnya, dan ironisnya, Galangan MacKay di Arbrouth dimana kapal itu dibangun dengan masa depan yang sangat tidak jelas juga menginginkan agar kapal itu diangkat/dipindahkan dari tempatnya sekarang.

Posted 23/11/2014 by jecidi in Marine

CLASS MAINTAINED.   Leave a comment


Sebuah analisis atas suatu istilah dalam dunia pelayaran atau perkapalan yang terkait dengan status klasifikasi kapal yang seringkali dipahami secara dangkal dan digunakan/dimanfaatkan secara tidak proporsional oleh para pemiliki/pengelola kapal untuk menunjukkan kepada perusahaan asuransi atau pihak penanggung bahwa sebelum terjadi kecelakaan, kapalnya telah dirawat sesuai dengan peraturan klasifikasi yang berlaku untuk kapal tersebut.
Tanker LPG terbesar di dunia Pertamina
‘CLASS MAINTAINED’ adalah istilah yang digunakan oleh suatu badan klasifikasi kapal untuk menyatakan bahwa sebuah kapal yang terdaftar sebagai pesertanya, selama jangka waktu tertentu (yang diminta oleh pemilik/pengelola kapal) dan tentu saja sebatas pada catatan (records) yang ada di kantor pusat mereka, tidak tercatat telah melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan klasifikasi yang berlaku, atau kapal telah dirawat sesuai dengan ketentuan ketentuan klasifikasi yang berlaku sehingga notasi klasnya bisa dipertahankan (maintained)
Kebanyakan para pemilik/pengelola kapal atau pihak tertanggung tidak menyadari bahwa surat keterangan ampuh yang menyatakan bahwa ‘class maintained‘ itu hanya berlaku dengan catatan, mereka memang betul-betul telah me lakukan salah satu kewajibannya yaitu memelihara kapalnya sesuai dengan persyaratan / ketentuan yang berlaku sehingga kapalnya selalu dalam keadaan laik laut (seaworthy) selama beroperasi atau telah melakukan exercise of due diligence. Mereka tidak menyadari bahwa, kalau mereka ternyata melalaikan kewajibannya dan kemudian bisa dibuktikan bahwa kapal telah mengalami kecelakaan karena tidak laik laut (unseaworthy), maka pernyataan ‘class maintained’ tersebut dengan sendirinya gugur atau tidak valid lagi . Kebanyakan para pemilik/pengelola kapal beranggapann bahwa kalau mereka sudah bisa mengantongi sepotong surat keterangan yang menyatakan bahwa selama periode sebelum kejadian sampai saat terjadi kecelakaan klas kapalnya maintained, dan semua sertifikat lainnya masih berlaku pada saat kecelakaan terjadi, mereka menganggap sudah berhak untuk mendapatkan klaim asuransinya, meskipun mereka tidak melakukan kewajiban mereka dengan benar atau melakukan want of due diligence. ‘Exercise of due diligence’ dan ‘utmost honest’ adalah sikap/perilaku dasar yang harus dipenuhi pada suatu perjanjian asuransi, dan harus dilakukan oleh tertanggung sebagai persyaratan utama. Ketentuan atau hal ini karena sudah seharusnya disadari oleh semua pihak, memang tidak dinyatakan secara tertulis dalam polis asuransi dan termasuk sebagai bagian dari persyaratan-persyaratan asuransi yang dinamakan implied warranty. Marilah kita tinjau lebih jauh lagi mengapa pernyataan ‘class maintained’ mudah sekali diterbitkan dan menjadi tidak relevan lagi, terutama di Nusantara kita tercinta ini.

Setelah kapal menjalani Survei Pembaharuan Kelas (SS ) pada umumnya Surveyor Badan Klasifikasi datang ke kapal untuk melakukan survei tahunan, satu kali setiap tahun itupun hanya dalam hitungan jam dan kalau diundang oleh pemilik/pengelola kapal. Alhasil dalam waktu 365 hari catatan (records) yang ada di kantor pusat mereka, ya hanya laporan tahunan Surveyor Badan Klasifikasi itu saja (yang pada umumnya juga kurang teliti), dengan kata lain setelah survey terakhir tersebut dilakukan, tidak ada laporan bahwa kapal mengalami kekurangan atau kerusakan (karena memang tidak dilap orkan oleh pemilik/pengelola kapal ). Surat keterangan yang menyatakan bahwa sesuai dengan catatan yang ada di kantor mereka selama periode (yang diminta oleh pemilik/pengelola kapal) class maintained bisa dengan mudah diberikan dan kalau mereka dijadikan saksi di pengadilan dengan mudahnya mereka bisa memberikan dalih/pernyataan bahwa sewaktu dilakukan pemeriksaan kapalnya dalam keadaan baik atau laik laut dan kekurangan/kerusakan yang terjadi kemudian dan menyebabkan kapal menjadi tidak laik laut tidak pernah dilaporkan oleh pemilik/pengelola kapal. Hal lain menyangkut terjadinya kecelakaan kapal yang perlu juga untuk di sadari oleh semua pihak yang terkait dengan keselamatan kapal adalah pengertian sempit mengenai “seaworthines” yang pada umumnya dipahami hanya sebatas pada kondisi fisik kapalnya saja, pada hal masih banyak hal lain yang mempengaruhi keadaan seaworthy sebuah kapal dan menjadi kewajiban utama dari pemilik/penglola untuk menjaganya. Untuk mengingatkan mereka semua, tentang pengertian sesungguhnya, silahkan baca dengan teliti definisi Seawaorthy menurut “The Marine Encyclopaedic Dictionary” DARI Eric Sullivan F.I.C.S di bawah ini .

“Seaworthiness is the fitness of a ship to encounter the hazards of sea with reasonable safety. In addition having a sound hull the ship must be fully and completely crewed and suffenciently fuelled and provisioned for the contemplated voyage. All her equipment must be in proper working order and, if she carries cargo, she must be cargoworthy. The right to claim under a hull policy may be prejudiced if the ship puts in an unseaworthy condition”.

Terjemahan bebasnya, sbb :
Kapal akan dinyatakan seaworthy atau laik-laut apabila ia memiliki kemampuan untuk menanggulangi / mengatasi semua bahaya yang (kemungkinan) akan dialaminya sewaktu berlayar (perils of the sea) dengan tingkat keamanan yang memadai. Kapal tidak cukup hanya memiliki badan (hull) yang kuat namun juga harus dijalankan oleh Nakhoda dan awak kapal yang kompeten dan cukup jumlahnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu juga harus dibekali dengan bahan bakar, makanan serta keperluan yang lain, cukup untuk mencapai pelabuhan tujuan. Semua perlengkapannya (termasuk mesin-mesin dan peralatan bantu navigasi untuk berlayar dengan aman dan perlengkapan lainnya untuk penyelamatan di laut serta penanggulangan kebakaran dlsb) harus dalam kondisi berfungsi / bekerja dengan baik, dan apabila kapal membawa muatan, kapal harus laik-muat (cargoworthy) dan muatan yang dibawa harus sesuai dengan fungsi dari kapal itu sen diri, tidak melebihi garis batas muat dan memiliki keseimbangan (stability) yang baik. Hak untuk meminta ganti rugi dari asuransi seperti dijamin dalam polis hull menjadi gugur jika kapal terbukti telah berlayar (nekat) dalam keadaan tidak laik- laut. Cara satu-satunya dan yang terbaik untuk bisa melaksanakan tanggung jawabnya, para pemilik/pengelola kapal harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengikuti dengan benar semua ketentuan/persyaratan nasional dan internasional mengenai keselamatan yang berlaku bagi kapal kapalnya antara lain SOLAS, termasuk ISM Code dan STCW Code, MARPOL, ILLC dan lain-lainnya. Dan bukan sekedar melengkapi kapal-kapalnya dengan sertifikat-sertifikat dan dokumen-dokumen yang diperlukan dengan segala cara apapun. Mereka harus sadar bahwa kapal-kapal tersebut tidak bisa mengapung apalagi berlayar dengan selamat hanya karena sudah memiliki sertifikat-sertifikat keselamatan tersebut termasuk sertifikat laik-laut.

( Sumber IMarE REVIEW, 41/2009 )

Posted 12/10/2014 by jecidi in Marine

Bridge Navigational Watch Alarm System (BNWAS)   Leave a comment


Apakah BNWAS itu?

BNWAS adalah singkatan dariBridge Navigational Watch Alarm System, atau sistim alarm dinas-jaga navigasi di anjungan, yaitu peralatan yang dipasang di anjungan, yang secara otomatis akan berbunyi (alarm) apabila Mualim Jaga tertidur, atau terdeteksi tidak melakukan sesuatu terhadap tindakan yang seharusnya dilakukan oleh Mualim jaga.

BNWAS mulai diperkenalkan melalui amandemen SOLAS 1974 BAB V Peraturan 19, yaitu atas persetujuan anggota IMO pada sidang Maritime Safety Commiittee yang ke 86 (MSC 86) yang dituangkan ke dalam Resolusi MSC nomor 282(86) pada tanggal 5 Juni 2009.alim Jaga(terdeteksi ada ketidakmampuan secara fisik dari pada Mualim jaga), atau meninggalkan anjungan cukup lama.

Sesuai dengan ketentuan, BNWAS ini akan secara otomatis aktif apabila kemudi kapal diletakkan pada posisi “auto-pilot” (fungsi kemudi otomatis).

Persyaratan minimum BNWAS sesuai dengan ketentuan International Maritime Organization (IMO) adalah memiliki fungsi satu tahap diam (dormant stage) dan 3 tahap alarm (alarm stage), kecuali pada kapal-kapal penumpang, alarm tahap ke 2 boleh dihilangkan.



Tahapan alarm pada BNWAS standard:

Tahap 1: ketika kemudi dipindahkan pada posisi ‘autopilot’ Mualim Jaga diminta untuk menunjukkan keberadaannya oleh sistim BNWAS setiap 3 – 12 menit yang ditandai oleh lampu cerlang pada sensor peralatan. Yaitu dengan cara melambaikan tangan di depan sesnsor gerakan, atau menekan tombol tertentu pada sistim BNWAS sebagai tanda konfirmasi, atau memberikan tekanan pada bagian badan dari BNWAS.

Tahap 2: apabila konfirmasi keberadaan Mualim jaga tidak diperoleh dalam waktu 15 detik pada Tahap 1, alarm akan berbunyi di ruang anjungan, dan apabila 15 detik berikutnya juga tidak ada konfirasi, alarm di kamar Nakhoda atau Mualim I akan berbunyi. Untuk menghentikan alarm, maka Nakhoda atau Mualim I harus mematikannya dengan tombol yang ada di anjungan. Tidak dapat dilakukan dari kamar.

Tahap 3: Apabila Nakhoda atau Mualim I tidak mematikan alarm dalam waktu tertentu (antara 90 detik sampai 3 menit, tergantung dari ukuran kapal), alarm akan berbunyi di ruang-ruang atau lokasi2 di kapal dimana biasanya selalu ada orang (misalnya salon, ruang rekreasi, dsb).

IMO juga mensyaratkan bahwa BNWAS ini harus juga dapat digunakan untuk fungsi keadaan darurat, dimana orang-orang yang ada di anjungan dapat mengaktifkan alarm pada Tahap 2 dan 3 apabila menghendaki pertolongan dalam keadaan darurat.

Persyaratan secara rinci standar kinerja (performance standards) BNWAS ini dapat dilihat pada Resolusi MSC nomor 128(75).

Jadwal pemberlakuan BNWAS di kapal-kapal sesuai dengan ketentuan SOLAS Bab V Peraturan 19 adalah sebagai berikut:

  • July 2011: kapal barang (cargo ship) baru 150 gt atau lebih;
  • July 2011: semua kapal penumpang tanpa melihat ukurannya;
  • July 2012: kapal barang 3.000 gt atau lebih;
  • July 2013: kapal barang antara 500 dan 3,000 gt;
  • July 2014: semua kapal antara 150 dan 500 gt;

 

 

 

 

 

( Sumber : Capt. Hadi S, MM, MMar, Mantan Atase Perhubungan London )

Posted 09/03/2014 by jecidi in Iptek

VOYAGE DATA RECORDER   Leave a comment


Secara mudah dapat dikatakan bahwa VDR adalah mirip dengan “Black Box” pada pesawat terbang. Namun VDR yang di pasang di kapal2 pada saat ini telah cukup modern, sehingga tidak hanya merekam pembicaraan di anjungan saja, tetapi dapat merekam perjalanan kapal sebelum dan sesudah kejadian, merekam kejadian selama tidak kurang dari 24 jam.

VDR dikapal diletakkan di atas anjungan, sehingga apabila terjadi kecelakaan dan tidak sempat di ambil, maka VDR tersebut dapat secra otomatis terlepas dan terapung. Setelah kejadian kecelakaan, “memory” pada VDR dapat diambil dan dapat di tampilkan kembali gerakan kapal yang merupakan rekaman selama 24 jam.

Persyaratan VDR

Kapal penumpang dan kapal selain kapal penumpang 3000 tonase kotor atau lebih yang dibangun pada/setelah 1 Juli 2002 harus membawa perekam data pelayaran (Voyage Data Recorders – VDRs) untuk membantu dalam investigasi kecelakaan, yang diadopsi pada tahun 2000, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002.

Berdasarkan peraturan 20 dari SOLAS Bab V tentangVDR, kapal yang diwajibkan membawa VDRs:

  1. Kapal penumpang yang dibangun pada atau setelah 1 Juli 2002;
  2. Kapal penumpang ro-ro yang dibangun sebelum tanggal 1 Juli 2002 tidak lebih dari survei pertama pada atau setelah 1 Juli 2002;
  3. Kapal penumpang selain kapal penumpang ro-ro yang dibangun sebelum 1 Juli 2002 tidak lebih dari 1 Januari 2004, dan
  4. Kapal, selain kapal penumpang, dari 3.000 tonase kotor dan ke atas dibangun pada atau setelah 1 Juli 2002.

VDRs bagi setiap kapal, wajib memenuhi standar kinerja “tidak lebih rendah dari yang diadopsi oleh Organisasi (IMO)”.

Persyaratan VDR sebagaimana terdapat pada Resolusi MSC antara lain:

  1. Harus diletakkan di atas anjungan, agar apabila kapal tenggelam, dapat secara otomatis terlepas dari kapal dan terapung di lautan.
  2. Harus dibuat dengan warna yang mencolok sehingga mudah terdeteksi.
  3. Harus mampu merekam informasi secara otomatis sedikitnya 24 jam terakhir dari peralatan navigasi lain seperti GPS, Radar, AIS, Gyro Compass, Speed-log, VHF atau peralatan komunikasi lain di anjungan, Echo Sounders, dan peralatan lain yang dapat memberi informasi tentang pelayaran kapal.

Simplified VDRs 

(VDRs yang disederhanakan)

Sidang Maritime Safety Committee (MSC) pada sesi ke-79 pada bulan Desember 2004 mengadopsi amandemen peraturan 20 dari SOLAS Bab V (Keselamatan Navigasi) tentang Simplified VDR (S-VDR). Perubahan tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2006.

S-VDR, diberlakukan pada kapal kargo 3.000 gt atau lebih (jadwal pemberlakuannya dibedakan antara kapal kargo 3.000 gt keatas dan 20.000 gt ke atas)

Persyaratan S-VDR tidak sesulit VDR, yaitu tidak diperlukan untuk menyimpan data secara rinci sebagaimana disyaratkan VDR yang standar, namun demikian tetap harus mampu menyimpan rekaman secara aman, informasi mengenai posisi, gerakan kapal, status fisik, perintah2 nakhoda dan kontrol dari kapal selama periode menjelang dan setelah insiden.

Tahapan pemberlakuan S.VDR untuk kapal kargo diatur sebagai berikut:

  • untuk kapal kargo 20.000 tonase kotor atau lebih yang dibangun sebelum 1 Juli 2002,
  • pada dock pertama yang dijadwalkan setelah 1 Juli 2006, namun tidak lebih dari 1 Juli 2009;

  • untuk kapal kargo dari 3.000 tonase kotor atau lebih tetapi kurang dari 20.000 tonase kotor dibangun sebelum 1 Juli 2002, pada dock pertama yang dijadwalkan setelah 1 Juli 2007, tetapi tidak lebih dari 1 Juli 2010; dan
  • Pemerintah dapat membebaskan kapal kargo dari penerapan pemasangan S.VDR apabila kapal tersebut akan di scrap secara permanen dalam waktu dua tahun setelah tanggal pelaksanaan yang ditentukan.

( Sumber : Capt. Hadi Supriyono, MM, M.Mar, Mantan Atase Perhubungan London )

Posted 09/03/2014 by jecidi in Iptek

Strategi Maritim- Jalan menuju kejayaan   Leave a comment


Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas wilayah 5,8 juta km per segi dan panjang garis pantai 95.181 km, sudah sepatutnya Indonesia memiliki  strategi maritim yang baik. Hal tersebut mencakup aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan dan pertahanan.

Jika dipetakan di belahan bumi lain, luas wilayah Nusantara sama dengan jarak antara Irak hingga Inggris (Timur-Barat) atau Jerman hingga Aljazair (Utara-Selatan). Letaknya yang seksi, ditopang potensi sumber daya alam berlimpah, membuat negara-negara yang berkepentingan tergoda menguasai kekayaan alam bumi khatulistiwa. Tak heran, ancaman dan gangguan terus menerpa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 Dalam mengatasi tantangan tersebut, seluruh komponen bangsa harus segera membangkitkan maritime domain awareness, atau kesadaran lingkungan maritim. Hal itu dibutuhkan karena bangsa Indonesia sekarang tidak lagi memiliki budaya bahari. Sehingga, perlu dibangun kembali upaya penyadaran.  Upaya ini harus sampai pada penyadaran efektif terhadap segala sesuatu yang menyangkut lingkungan maritim merupakan hal vital bagi keamanan, keselamatan, ekonomi dan lingkungan hidup bangsa Indonesia, serta menunjang upaya menegakkan harga diri bangsa.

Menyadarkan bahwa laut adalah aspek alamiah yang paling memengaruhi kehidupan poleksosbudhankam nasional merupakan isu yang paling utama dan menarik perhatian. Di sini pemerintah harus menjadi ujung tombak, dan untuk itu pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan sebuah National Ocean Policy dalam rangka pemanfaatan laut bagi kemakmuran bangsa, sekaligus untuk mengembangkan kembali budaya bahari bangsa, yang tujuan akhirnya penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa.

 

Aspek Sosial dan Budaya

Dari aspek kehidupan sosial dan budaya, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia pada masa lalu memiliki pengaruh besar di wilayah Asia Tenggara. Terutama melalui kekuatan maritim di bawah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Tak heran, wilayah laut Indonesia dengan luas dua pertiga Nusantara diwarnai banyak pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan besar. Bahkan, mampu mengarungi samudra luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.

Penguasaan lautan baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bangsa Indonesia mencintai laut, dan menjadi bagian masyarakat bahari. Tetapi pada masa penjajahan kolonial, bangsa Indonesia digiring hidup di daratan. Hal ini mengakibatkan menurunnya jiwa bahari. Padahal, nenek moyang masyarakat Indonesia telah memahami dan menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana yang menjamin kepentingan bangsa, seperti perdagangan dan komunikasi.

Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung

Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut China Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.

Selain itu, banyak bukti pra sejarah di Pulau Muna, Seram dan Arguni yang diperkirakan budaya manusia sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan perantau dari Nusantara di wilayah Madagaskar. Pengaruh dan kekuasaan tersebut diperoleh bangsa Indonesia karena kemampuannya membangun kapal dan armada yang mampu berlayar lebih dari 4.000 mil.

Dalam strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari yang besar. Sayang, setelah mencapai kejayaan, Indonesia terus mengalami kemunduran. Terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda.

Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Namun, budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan terus menginduksi, dan membentuk budaya maritim bangsa Indonesia.

Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan, dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan budaya bahari secara alamiah. Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan maritim.

 

Aspek Eknomi

Laut Indonesia ditaksir menyimpan potensi kekayaan yang dapat dieksploitasi 156 miliar dolar AS per tahun atau sekitar Rp 1.456 triliun. Walau demikian, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional dinilai masih rendah. Pada 1998 sektor kelautan hanya menyumbang 20,06 persen terhadap PDB, itupun sebagian besar atau 49,78 persen disumbang subsektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut. Ini menunjukkan bahwa kekayaan laut Indonesia yang sangat besar masih disiasiakan. Berbeda dengan negara maritim lain, seperti RRC, AS, dan Norwegia, yang sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi di atas 30 persen terhadap PDB nasional mereka.

Sebagai suatu negara dengan kekuatan ekonomi yang terus berkembang, kelanjutan kemajuan Indonesia akan makin bergantung pada perdagangan dan angkutan laut dan ketersediaan energi, serta pada ekploitasi sumber daya laut dan bawah laut serta membangun industri maritim yang tangguh. Karena itu, sangat jelas Indonesia memiliki kepentingan nasional yang sangat besar di laut.  Sebagai hal yang mendasari kepentingan Indonesia di laut, Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai strategi untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk memanfaatkan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kepentingan masyarakat internasional? Rasanya masih jauh panggang dari api. Jangankan memiliki kemampuan maritim yang memadai, usaha-usaha ke arah itupun belum tampak jelas. Bahkan Indonesia belum secara tegas menyatakan kepentingan nasionalnya di laut dan belum menetapkan National Ocean Policy. Pada dasarnya ada tiga kepentingan nasional Indonesia di laut.

Dari sisi pembangunan ekonomi maritim, Indonesia juga masih menghadapi banyak kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi multiplier effect karena perkembangannya akan diikuti pembangunan dan pengembangan industri dan jasa maritim lainnya masih dikuasai kapal niaga asing. Azas cabotage seperti yang diamanatkan UU RI No. 17/2008 tentang Pelayaran masih perlu diperjuangkan agar dapat diterapkan dengan baik.  Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya kapasitas kapal nasional, sedangkan pembangunan kapal baru dihadang tidak adanya keringanan pajak, sulitnya kredit, serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang maritim mengingat usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan slow yielding.

Untuk angkutan domestik, armada nasional baru mampu mengangkut sekitar 60 persen. Peranan armada nasional dalam angkutan laut internasional baik ekspor maupun impor menunjukkan kenyataan yang lebih memprihatinkan, karena pemberlakuan prinsip Freight on Board (FoB), bukan Cost and Freight (CnF). Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia hanya kebagian jatah sekitar 10 persen, mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40 miliar dolar AS.

Memperhatinkan kondisi pelabuhan nasional yang belum tertata secara konseptual tentang pelabuhan utama ekspor-impor dan pengumpan. Selain itu, keamanan dan efisiensi pelabuhan Indonesia masih diragukan, terutama bila dihadapkan pada pemenuhan persyaratan International Ship and Port Safety (ISPS) Code.

Kecelakaan laut yang menimpa angkutan antar pulau memakan korban jiwa besar masih terus terjadi, mengingat kapal yang digunakan adalah kapal tua, tidak dilengkapi peralatan keselamatan, bahkan tidak layak laut.

Sisi lain dari laut yang memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber daya laut dan bawah laut. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang terbentang seluas 2,7 juta km persegi dan keberhasilan untuk mengekploitasi wilayah ini dapat membantu mengangkat Indonesia keluar dari keterbelakangan ekonomi. Namun disadari bahwa Indonesia kekurangan kemampuan teknologi untuk memanfaatkan kekayaan bawah lautnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya survey, research dan sumber daya manusia di bidang maritim.

Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan memanfaatkan wilayah lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan. Illegal, Unregulated and Unreported fishing masih terjadi secara luas, karena Indonesia belum mampu memperkuat armada perikanan nasional dan belum mampu mengawasi serta mengendalikan lautnya secara optimal. Diperkirakan Indonesia membutuhkan sekitar 22.000 kapal ikan dengan kapasitas masing-masing di atas 100 ton. Jumlah ini terlihat besar, namun sesungguhnya merupakan estimasi minimal. Sebagai perbandingan, Thailand memiliki sekitar 30.000 kapal ikan yang resmi dan konon sekitar 20.000 yang tidak terdaftar.

Dari uraian pembangunan ekonomi maritim ini terlihat jelas bahwa kekuatan armada pelayaran niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi atau industri maritim nasional. Asas cabotage yang telah secara tegas diatur untuk diterapkan adalah kebijakan fundamental untuk pembangunan eknomoi industri maritim karena multiplier effect-nya sangat luas.  Intinya, untuk membangun ekonomi atau industri maritim, pemerintah harus segera menerapkan kebijakan insentif kredit dan pajak untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal sebagaimana diterapkan pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan armada pelayaran niaga. Inpres V/2005 dan UU RI No 17/2008, tentang Pelayaran telah mengatur masalah tersebut. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh pemerintah, pembangunan industri maritim akan menggeliat.

 

Aspek Keamanan

Kini, sudah saatnya bangsa Indonesia membangkitkan kembali kesadaran bahwa laut harus dipandang sebagai kesatuan wilayah, sumber kehidupan, media perhubungan utama, wahana merebut pengaruh politik dan wilayah utama penyanggah pertahanan.

Kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan, memiliki empat dari sembilan Sea Lines of Communication dunia mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban yang sangat besar menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional di Selat Malaka-Singapura, serta tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia belum mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan laut yang memadai. Apalagi untuk menjaga kedaulatan di seluruh wilayah laut yurisdiksinya.

Sepanjang berkaitan dengan kebijakan pertahanan nasional, pada dasarnya Indonesia adalah negara yang cinta damai dan tidak memiliki ambisi menguasai negara atau wilayah bangsa lain. Tetapi, Indonesia memiliki pulau-pulau yang jauh terutama di Laut Natuna dan Sulawesi, dan masih ada wilayah perbatasan yang belum ditetapkan serta wilayah sengketa. Karena itu, Indonesia harus tetap mewaspadai adanya kemungkinan kontingensi. Indonesia harus memiliki kesiagaan dan kemampuan untuk dapat mengendalikan lautnya dan memproyeksikan kekuatannya melalui laut dalam rangka memelihara stabilitas dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kepentingan menjaga keselamatan, keamanan dan pertahanan Negara di laut, TNI AL sebagai tulang punggung upaya pertahanan dan keamanan di laut masih belum memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan penguasaan laut di bawah yurisdiksi nasional. Kasus Ambalat dan yang terakhir, penangkapan petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Riau oleh Polisi Laut Diraja Malaysia hanyalah beberapa contoh, bagaimana resiko yang harus diterima bila Indonesia tidak memiliki armada perang yang kuat dan kemampuan pengamanan laut yang handal. Dari kebutuhan sekitar 300 kapal kombatan, TNI AL hanya memiliki sekitar 130 kapal dengan komposisi dan kemampuan yang dirasa belum memadai. Kekuatan TNI AL tertinggal dari negara-negara tetangga, terutama dari sisi teknologi, karena masih mengandalkan kapal-kapal tua. Thailand saja memiliki kapal induk, sedangkan kapal kombatan Indonesia masih terbatas sampai jenis Korvet.

Pembangunan TNI AL  seharusnya lebih bersifat outward looking, yaitu berdasarkan kebutuhan pengendalian laut nasional sampai ke batas wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, bukan hanya untuk mendukung pertahanan di darat.  Perlu pula mempertimbangkan strategi pertahanan yang bersifat deterrent dan denial. Jika musuh bisa ditangkal dan dicegah di laut, kita tidak perlu berperang di darat. Sebagai contoh, Singapura menganut doktrin pertahanan forward defence, yang jelas bersifat offensive. Selain itu, sesuai dengan UNCLOS 1982, kewenangan penegakan hukum di laut oleh kapal pemerintah atau government ship masih lemah karena tersebar pada beberapa instansi. Maritime security arrangement Indonesia perlu ditata kembali agar lebih efisien dengan membentuk Indonesian Sea and Coast Guard, sebagai single agency dengan multi task yang memiliki kemampuan penegakan hukum di laut yang mumpuni, serta memperkuat kemampuan dan posisi TNI-AL yang memiliki fungsi diplomasi, polisional dan militer.

Kepentingan mengamankan kegiatan ekonomi dan kedaulatan di laut yurisdiksi Indonesia yang sangat luas membutuhkan sistem yang profesional, efektif dan efisien. Contohnya, kewenangan menegakkan hukum di laut yang ditangani 13 instansi. Untuk mencapai itu diperlukan strategi maritim yang mencakup berbagai bidang.

Pakar hukum laut internasional, Prof Hasyim Djalal, menyatakan sudah sepatutnya Indonesia memiliki konsep negeara maritim (ocean policy).  Menurut Hasyim, konsep maritim yang dimaksud adalah negara  mampu memanfaatkan dan menjaga laut untuk mensejahterakan rakyatnya.  “Tapi, sayang kita sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, negara belum mampu memanfaatkan potensi sumberdaya laut,” kata Hasyim.

“Secara hukum internasional dan Undang-undang, memang Indonesia sebagai negara kepulauan. Tapi,  belum maksimal memanfaatkan kekayaan yang ada di laut. Maka itu diperlukan konsep strategi negara maritim yang tangguh dan berdaulat,” tambah Hasyim.

Menurut tokoh maritim ini,  negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan dan menjaga lautnya. “Banyak negara kepulauan tapi bukan negara maritim, ada negara yang lautnya sedikit tapi memiliki predikat negara maritim,” ungkapnya. Hasyim memberi contoh seperti China dan Amerika. “Ada juga negara yang tidak memiliki laut tapi menguasai laut, seperti Belanda menjajah Indonesia 350 tahun karena mereka mampu menguasai laut,” terangnya.

Hasyim juga menyoroti kebijakan pemerintah yang kurang serius terhadap perkembangan isu laut.  Menurutnya, perhatian pemerintah masih rendah, padahal Indonesia sebagai negara kepulauan.  “Perhatian pemerintah terhadap laut masih rendah. Padahal, kita ini negara kepulauan terbesar,” tukasnya.

Hasyim menilai pemimpin bangsa kurang memaknai perjuangan Djuanda atau yang dikenal Deklarasi Djuanda 1957.  Menurut Hasyim, secara visi Deklarasi Djuanda bagus. Tapi, keresapan kejiwaan itu yang sejak dulu sudah pahit sampai sekarang ada gejala sudah tidak baik.

Prof Dr Hasjim Djalal: Pikirkan Indonesia 50 Tahun ke Depan oleh Menurutnya  Deklarasi Djuanda ide pokoknya mempersatukan Nusantara,  tidak melihat laut Jawa, Sulawesi, Maluku sebagai laut bebas.  Tidak mudah memperjuangkan itu. Seluruh dunia ketika itu memprotes. Tapi beliau melihat itu sebagai salah satu yang harus diperjuangkan dengan sabar, dan bertahun tahun. Itu dari sisi kesatuan bangsa.  Deklarasi Djuanda pada dasarnya memperluas kekayaan alam Indonesia untuk keperluan bangsa Indonesia, tuturnya. sjim Djalal: Pikirkan Indonesia 50 Tahun ke Depan.

“Coba kita pikirkan. Setelah 50 tahun Deklarasi Djuanda, ke mana bangsa kita mau pergi. Pada tahun 1957 penduduk Indonesia masih sekitar 80 juta jiwa, sekarang 240 juta jiwa. Untuk 50 tahun yang akan datang ke mana mau kita bawa lagi bangsa ini. Djuanda dulu membawanya kepada Kesatuan Nusantara,” ujarnya.

Hasyim juga menyarankan kepada pemerintah untuk memikirkan masa depan bangsa untuk 50 tahun yang akan datang. Selama ini, pemerintah hanya memikirkan jangka pendek saja. “Pemerintah sudah harus memikirkan program jangka panjang. Bangsa ini mau di bawah kemana. Jangan  5 tahun saja pada pemilu,” imbuhnya.

Sementara, pengamat Pertahanan dari LIPI, Jaleswari Pramodhawardani mengingatkan tantangan Indonesia sebagai negara kepulauan di era gelobalisasi.  Menurutnya, defenisi pertahanan dan kemanan maritim sejauh ini belum ada yang defentif. Seperti misalnya defenisi PBB dan ASEAN Maritime Forum.

“Untuk mengatisipasi perkembangan globalisasi, sebagai negara kepulauan, Indonesia memerlukan sebuah strategi maritim dalam bentuk Ocean Policy, yang hingga saat ini belum tuntas” ujar dia.

Dekan Fakultan Ilmu Perikanan dan Kelautan (FIPK) Institut Pertanian Bogor, Prof Indra Jaya, menambahkan,  salah satu kekurangan bangsa ini sebagai negara kepulauan  adalah dibidang sains dan teknologi. Indonesia memang  negara yang luas. Untuk menjadi Negara Maritim, ada tiga bidang yang bisa mewujudkan menjadi Negara Maritim, pertama adalah sumber kehidupan, perdagangan dan kekuatan laut.  “Ada tiga bidang yang bisa diwujudkan untuk negara maritim yaitu sumber kehidupan, pedagangan dan kekuatan laut,” terangnya.

Tempat terpisah,  pakar keamanan Negara maritim, Laksa TNI Purnawirawan, Robert Mangindaan dalam tulisannya di Quarterdeck yang diterima oleh Indonesia Maritime Magazine, bahwa agenda Securty Sector Reform tidak membawa kepentingan pihak-pihak lain yang tujuannya adalah mengkerdilkan ‘otot’ militer Indonesia, yang sebetulnya sudah sedemikian ‘kerdil’.

“Banyak pakar mengatakan bahwa milenium ketiga adalah era pasifik, dan pandangan tersebut disikapi oleh negara-negara kawasan dengan memperkuat ‘otot’ militernya. Padahal, dengan usainya perang  dunia dan menguatnya keinginan masyarakat internasional untuk mewujudkan dunia yang aman, damai dan stabil, sepertinya tidak mudah direalisasikan, sekalipun sudah menjadi acuan bersama, mislanya Agenda for peace yang gencar dipromosikan oleh PBB,” kata Robert dalam tulisannya mengenai Sketsa Situasi Kemanan Maritim.

Robert melaanjutkan bahwa perlu diakui benar adanya perampingan struktur kekuatan militer berlangsung di kawasan Asia Pasifik, akan tetapi pada prakteknya adagium civis pacem parabellum, justru diterapkan secara utuh. Malah ada pihak yang menaikan belanja pertahanan secara signifikan, mislanya China dengan budget 33 miliar dolar AS begitu pula dengan Amerika Serikat yang secara tegas mengatakan peningkatan anggaran belanja pertahanan setiap tahunnya.

Belakangan ini , ada beberapa inisiatif yang gencar dikembangkan di kawasan ini, yaitu Regional Maritime Security Initiatives (RMSI), Proliferation Security Initiatives (PSI), ada pula Maritime Securtiy Oprations (MSO) dan Pasifik Defense. Tujuannya adalah mengenai kemanan maritim kawasan untuk menghadapi berbagai ancaman, terutama menyangkut mencegah proliferasi senjata pemusnah massal, maritime terrorism, dan pula menjangkau sea robbery and piracy.

“Dari perspektif Indonesia, critical uncertaintes yang perlu diperhatikan iahlah semua bentuk oprasi yang berkaitan dengan beberapa hal yaitu pertama upaya internasional untuk mengamankan choke points, kedua humanitarian assistance yang mengarah pada daerah-daerah yang bermaslah, ketiga provokasi untuk ‘mendatangkan’ peacekeeping opration, yang sangat mungkin erat terkait dengan intra-state conflic. Semua bentuk opprasi tersebut, nantinyaq akan sama artinya dengan memberikan akses kepada kekuatan luar (yang lebih superior) untuk masuk ke daerah-daerah yang defense mechanism-nya belum mapan,” tegasnya.

Masih dijelaskan oleh Robert,  bahawa masalah kemanan maritim yang akan dihadapi ke depan, masih akan berkisar pada sea robbery and piracy, illegal fishing, trans-national trheat, illicit trafficking of weapon of mass destruction and related materials, pelanggaran wilayah, lalu lintas di laut yang terkait dengan gerakan separatis dan sangat mungkin ancaman maritime terrorism. Diperkirkan pula bahwa ancaman tersebut akan semakin meningkatr yang diukur dari intensitas, penggunan teknologi maju dan pengembangan modus operandi.

“Karena Indonesia berada di wilayah ring of fire, dan tiga patahan benua, yaitu Eurasia, Australia dan Pasifik Barat, maka ancaman benca alam patut dihindari dan diantisifasi. Tidak hanya itu penyelanggaran kemanan maritim, perlu bekerjasama dengan pihak-pihak lain dengan berpegangan pada beberapa hal, yaitu wadah yang tepat, saling menguntungkan, ada kesungguhan. Kesannya memang sederhana sekali, akan tetapi justru di sana ada titik terangnya,”

 

Sumber IMI

Posted 12/01/2014 by jecidi in Iptek